Mekanisme Pengerjaan Pemfiksasi Zat Warna Reaktif

Mekanisme Pengerjaan Pemfiksasi Zat Warna Reaktif

Pengerjaan iring dengan zat pemiksasi kationik untuk zat warna reaktif pada prinsipnya hampir sama dengan pengerjaan iring untuk zat warna direk yaitu membentuk ikatan ion dengan gugus pelarut dari zat warna, sehingga membentuk molekul yang lebih besar (kompleks) dan diharapkan dapat meningkatkan ketahanan luntur warna dalam keadaan basah.

Reaksi antara zat warna reaktif dengan pemiksasi kationik

D-[SO3]x          +     xC+               → [D- (SO3C+)x]

Zat warna        zat kation aktif    senyawa kompleks

Salah satu zat pemiksasi (fixing agent) yang banyak digunakan adalah senyawa polikuartener yang bersifat kationik. Mekanisme proses fixing-nya dapat dijelaskan sebagai berikut : gugus pelarut dari zat warna reaktif yang ada pada serat umumnya bermuatan negatif, sedangkan senyawa polikuartener bermuatan positif. Dengan adanya muatan yang berlawanan memungkinkan adanya reaksi antara zat warna dengan zat pemiksasi membentuk senyawa yang lebih komplek. Selain itu zat pemiksasi tersebut akan bereaksi pula dengan selulosa sehingga akan terikat lebih kuat.

SILAHKAN DOWNLOAD DISINI : —>Mekanisme Pengerjaan Pemfiksasi Zat Warna Reaktif

Proses Penyabunan setelah proses Pencelupan

  • Proses Penyabunan setelah proses Pencelupan[7,15]

Zat aktif permukaan (sabun) merupakan salah satu zat yang menentukan dalam proses penyabunan ini. Molekul zat aktif permukaan terdiri dari gugus hidrofil (suka air) dan gugus hidrofob (tidak suka air). Menurut Mc. Brain bentuk misel ada dua macam yaitu misel sferik dan misel lameral. Misel sferik mempunyai daya hantar listrik yang sangat tinggi, sedangkan misel lameral terdiri dari gugus hidrofob yang sejajar dan berpasangan, mempunyai daya hantar listrik yang rendah.

Pada umumnya zat aktif permukaan yang digunakan sebagai bahan dasar sabun pada proses detergensi pencucian adalah bersifat anionik, dan non ionik atau campuran dari keduanya. Proses detergensi diawali dengan proses pembasahan yang bertujuan untuk menurunkan tegangan permukaan. Tegangan permukaan adalah energi yang diperlukan untuk memperluas permukaan per satu satuan luas yang dinyatakan dalam dyne/cm atau erg/cm2.

2.5.1 Proses Pelepasan kotoran (zat warna) [15]

Peristiwa pelepasan zat warna mirip dengan penyabunan kotoran atau lemak-lemak dari serat kapas pada proses pamasakan atau penyabunan kain kapas (20] .

Adanya zat aktif permukaan menyebabkan penurunan tegangan antarmuka zat warna dan air, sehingga kotoran akan mudah dipisahkan dari permukaan kain. Hal ini disebabkan terjadi pengecilan sudut kontak antara zat warna dengan air, dan kemudian terjadi adsorpsi pada permukaan serat. Adanya gaya tarik-menarik terhadap zat warna maka zat warna yang melekat itu seakan-akan didesak dan diemulsikan oleh zat aktif permukaan. Peristiwa pelepasan kotoran dari bahan dapat dilihat pada gambar 2.10 berikut ini :

Semakin banyak molekul zat aktif permukaan yang berkumpul pada permukaan kain, mengakibatkan kotoran semakin terdesak dan dengan bantuan gerakan mekanik akhirnya zat warna dapat terlepas dari permukaan kain. Kotoran yang berfasa padat yang telah terlepas dari permukaan kain, kemudian diemulsikan dan dikelilingi oleh zat aktif permukaan yang bersifat anionik untuk mencegah kembali penempelan kembali zat warna tersebut.

SILAHKAN DOWNLOAD DISINI : —> Proses Penyabunan setelah proses Pencelupan

Ketahanan Luntur Zat Warna Reaktif

  • Ketahanan Luntur Zat Warna Reaktif [5,8]

Pada umumnya zat warna reaktif memiliki nilai tahan luntur warna terhadap pencucian dan gosokan yang baik, yaitu 4 sampai 5. Namun ketahanan luntur warnanya dapat menurun apabila setelah pencelupan tidak dilakukan proses penyabunan atau proses penyabunannya kurang sempurna.

Dalam proses pencelupan zat warna reaktif, selain terjadi reaksi fiksasi dengan serat, zat warna reaktif juga mengadakan reaksi dengan alkali dan air (hidrolisa). Zat warna yang terhidrolisa ini akan tinggal di dalam serat, tetapi tidak berikatan kovalen dengan serat sehingga ikatan yang mungkin ada antara serat dengan zat warna tersebut hanya berupa ikatan dari gaya Van Der Waals dimana kekuatan ikatan jenis ini relatif lebih lemah bila dibandingkan ikatan kovalen yang ada pada zat warna yang terfiksasi dengan serat. Oleh karena itu sisa-sisa zat warna yang terhidrolisa yang tertinggal dalam serat harus dihilangkan, salah satu caranya melalui penyabunan agar ketahanan luntur warna hasil pencelupannya menjadi meningkat.

  • Sifat pencucian Zat Warna Reaktif

Zat warna reaktif dalam serat yang tidak fiksasi pada umumnya telah rusak terhidrolisa, sehingga ikatan yang mungkin ada antara serat dengan zat warna tersebut hanya berupa ikatan dari gaya Van der Waals, ionik atau ikatan hidrogen, dimana kekuatan ikatan jenis tersebut relatif lebih lemah bila dibanding ikatan kovalen yang ada pada fiksasi dengan serat. Oleh karena itu bila makin sedikit sisa-sisa zat warna yang terhidrolisis tertinggal dalam serat maka ketahanan lunturnya akan semakin meningkat.

Banyak sedikitnya sisa zat warna yang tidak fiksasi tertinggal dalam serat tergantung pada dua faktor, yaitu baik tidaknya proses pencelupan serta baik tidaknya proses pencucian setelah proses pencelupan guna membuang sisa-sisa zat warna yang tidak fiksasi tersebut.

Proses pencelupan yang kondisinya sesuai dengan zat warna dan bahan yang dicelup akan mendukung diperolehnya dua hal penting, yaitu efesiensi fiksasi yang tinggi dan tidak menimbulkan efek pencelupan cincin.

Proses pencelupan yang efesiensinya tinggi serta tidak menimbulkan efek pencelupan cincin akan memudahkan dalam membuang sisa zat warna yang terhidrolisi yang ada pada serat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.9 di halaman 16.

Zat warna yang fiksasi
Zat warna yang terhidrolisa
(a)Pencelupan cincin
   dalam
luar
   serat
luar
   dalam
   serat
(b)Pencelupan normal

 

 

 

 

 

 

Sumber : Dede Karyana, Struktur Kimia Zat Warna Reaktif dan Daya Celupnya, STTT, Bandung, 1998,

Gambar 2.9 Efek pencelupan cincin pada pembuangan zat warna yang tidak fiksasi

Keterangan :

  • pada pencelupan cincin ada efek tolakan muatan, zat warna yang terhidrolisi sukar dikeluarkan.
  • pada pencelupan normal, efek tolakan muatan ternetralkan, zat warna yang terhidrolisis mudah dikeluarkan.

Pada kondisi pencelupan yang kurang baik sehingga timbul efek pencelupan cincin, zat warna yang fiksasi cenderung terkonsentrasi pada permukaan serat, sehingga muatan negatif zat warna (dari gugus pelarutnya) juga terkonsentrasi di daerah permukaan serat. Akibatnya zat warna yang terhidrolisis dalam serat (yang juga gugus pelarutnya bermuatan negatif) akan sulit keluar melewati permukaan serat, karena ada efek tolak menolak muatan listrik yang sama diantara zat warna yang terhidrolisis tersebut dengan zat warna yang tidak fiksasi di sekitar permukaan serat. Untuk kasus tersebut tentu saja akan memerlukan proses pencucian yang lebih kuat.

SILAHKAN DOWNLOAD DISINI : —>Ketahanan Luntur Zat Warna Reaktif

Fiksasi Zat Warna Reaktif Vinilsulfon

Fiksasi Zat Warna Reaktif Vinilsulfon

Reaksi fiksasi pada zat warna reaktif vinilsulfon terjadi melalui mekanisme adisi nukleofilik. Mekanisme adisi nukleofilik ini pada umumnya terdiri dari 2 tahap yaitu tahap eliminasi gugus lepas (k1) dan tahap adisi gugus fungsi serat yang bersifat Nukleofilik(k2).

Gugus (-SO2-) yang terdapat pada zat warna reaktif tersebut bersifat sebagai penarik elektron yang kuat. Dengan adanya gugus tersebut maka laju reaksi tahap eliminasi   gugus   lepas berlangsung   relatif lebih cepat dibandingkan   dengan laju

reaksi adisi nukleofilik. Karena itu, tahap adisi merupakan tahap penentu laju reaksi.

Laju reaksi fiksasi yang terjadi antara senyawa vinilsulfon dengan serat (k2) jauh lebih besar jika dibandingkan dengan laju hidrolisis (k3). Namun ternyata reaksi fiksasi dengan gugus fungsi serat sangat tergantung pH larutan celup. Biasanya reaksi fiksasi ini berlangsung pada suasana sedikit alkalis. Sedangkan reaksi fiksasi pada suasana asam atau sedikit netral memungkinkan reaksi fiksasi yang terjadi sangat kecil

Sumber       : Dede Karyana, Struktur Zat Warna Reaktif dan Daya Celupnya, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung, 1998, halaman 13.

Gambar   2.8 Reaksi Adisi Nukleofilik pada Fiksasi Zat Warna Reaktif Vinilsulfon

 SILAHKAN DOWNLOAD MS.WORD DISINI : —> Fiksasi Zat Warna Reaktif Vinilsulfon

Mekanisme Pencelupan Kapas dengan Zat Warna Reaktif

  • Mekanisme Pencelupan Kapas dengan Zat Warna Reaktif [5,8]

Pencelupan adalah proses pemberian warna pada bahan serat, benang, atau kain secara merata dan bersifat permanen dengan zat warna sebagai bahan pemberi warnanya. Pencelupan kapas dengan zat warna reaktif dimaksudkan untuk mendapatkan warna pada serat kapas dari zat warna reaktif. Dalam proses pencelupan akan terjadi perpindahan zat warna dari larutan celup ke dalam serat yang terjadi secara bertahap, yaitu :

  • Zat warna teradsorpsi pada permukaan serat
  • Difusi dari permukaan serat ke dalam serat
  • Pengikatan (fiksasi) zat warna dengan serat

Pada fiksasi zat warna reaktif, terjadi reaksi antara molekul zat warna dengan gugus hidroksil selulosa dalam medium alkali. Penambahan alkali dapat menyebabkan selulosa mengion menjadi Sel-O¯ yang kemudian dapat menyerang atom karbon yang kekurangan elektron dan membentuk ikatan kovalen. Selain itu juga zat warna mengadakan reaksi dengan air dalam suasana alkali, dimana zat warna yang terserap pada permukaan selulosa tidak semuanya akan berdifusi ke dalam serat sehingga zat warna tersebut akan hilang dalam pencucian[6].

Reaksi ionisasi selulosa :

OH¯ + Sel-OH → Sel-O¯ + H2O

Reaksi fiksasi :

Sel-O¯ + Zw-Cl → Sel-O-Zw + Cl¯

Reaksi hidrolisa : OH¯ + Zw-Cl → Zw-OH + Cl¯

Sumber :   Dede Karyana, Struktur Kimia Zat Warna Reaktif dan Daya Celupnya, STTT, Bandung, 1998, halaman 22.

Gambar 2.7 Reaksi yang Terjadi Pada Saat Pencelupan Zat Warna Reaktif

                     Dalam Suasana Alkali

Mekanisme reaksi pada umumnya dapat digambarkan sebagai penyerapan unsur positif pada zat warna reaktif terhadap gugusan hidroksil pada selulosa yang terionisasi. Oleh karena itu untuk bereaksi, zat warna reaktif memerlukan penambahan alkali yang berguna mengatur alkalinitas yang sesuai, mendorong pembentukan ion selulosa dan menetralkan asam yang terjadi.

UNTUK LEBIH JELAS SILAHKAN DOWNLOAD DISINI : —>MEKANISME PENCELUPAN ZW REAKTIF.

SERAT KAPAS

2.1 Serat Kapas[2,14]

Serat kapas mempunyai bentuk penampang melintang yang sangat bervariasi dari elips sampai bulat. Tetapi pada umumnya berbentuk seperti ginjal. Bentuk membujur serat kapas adalah pipih seperti pita yang terpuntir. Bentuk penampang melintang dan membujur serat kapas dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Penampang Melintang             Penampang Membujur

Sumber : Arthur D Broadbent, Basic Principles of Textile Coloration, Manchester, 2001

Gambar 2.1 Bentuk Morfologi Serat Kapas

  • Struktur Molekul [15]

Komposisi selulosa murni diketahui sebagai suatu zat yang terdiri dari unit-unit anhidro-β-glukosa dengan rumus empiris (C6H10O5)n , dimana n merupakan derajat polimerisasi yang tergantung dari besarnya molekul. Hubungan antara selulosa dan glukosa telah lama dikenal yaitu pada peristiwa hidrolisa selulosa oleh asam sulfat dan asam klorida encer, yang menghasilkan suatu hasil akhir yang memiliki bentuk glukosa.

6

Hal ini membuktikan bahwa selulosa terbentuk dari susunan cincin glukosa. Glukosa diketahui sebagai turunan (derivate) pyranosa yang berarti memilki enam segi (sudut), dan struktur kimia dari glukosa sendiri memiliki dua bentuk tautomeri yaitu α-glukosa dan β-glukosa seperti pada Gambar 2.2 di halaman 7.

Sumber : Trotman, Dyeing and Chemical Technology of Textile Fibres, 4th edition, A Wiley

Interscience Publication, New York, 1984, halaman 46.

Gambar 2.2 Struktur Molekul Glukosa

Selubiosa adalah disakarida yang terdiri dari dua unit β-glukosa yang dihubungkan oleh jembatan oksigen (ikatan oksigen). Susunan dari selubiosa ini berhasil ditemukan oleh W.N. Haworth dan K. Freudenberg dengan tata nama sebagai       1-4 anhidro-β-glukosa seperti pada gambar 2.3 berikut ini :

Sumber :Trotman, E.R., Dyeing and Chemical Technology of Textile Fibres, 4th edition,

A Wiley Interscience Publication, New York, 1984, halaman 46.

Gambar 2.3 Struktur Molekul Selubiosa

Setelah melalui berbagai diskusi dan penyelidikan, maka ditetapkan bahwa struktur kimia dari selulosa adalah seperti pada gambar 2.4 sebagai berikut.

Sumber :Trotman, E.R., Dyeing and Chemical Technology of Textile Fibres, fourth edition,

A Wiley Interscience Publication, New York, 1984,halaman 36.

Gambar 2.4Struktur Rantai Molekul Polimer Selulosa

  • Sifat Serat Kapas[14]
    • Sifat Fisika
  1. Warna Kapas

Warna kapas pada umumnya sedikit krem. Beberapa kapas yang seratnya panjang, warnanya lebih krem dari pada jenis kapas yang serat-seratnya lebih pendek. Warna krem ini disebabkan oleh pengaruh cuaca yang lama, debu atau kotoran. Tumbuhnya jamur pada kapas sebelum pemetikan menyebabkan warna putih kebiru-biruan yang tidak bisa dihilangkan dalam pengelantangan.

  1. Kekuatan

Kekuatan serat kapas sangat dipengaruhi oleh kadar selulosa yang dikandungnya. Dalam keadaan basah serat kapas akan memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan serat ketika dalam keadaan kering. Hal ini disebabkan karena dalam keadaan basah, serat akan menggelembung sehingga berbentuk silinder yang akan menyebabkan berkurangnya bagian-bagian serat yang terpuntir, dalam kondisi seperti ini distribusi tegangan akan diterima di sepanjang serat secara lebih merata. Kekuatan serat kapas dalam keadaan kering berkisar 3,2 – 5,2 g/denier dan dalam keadaan basah lebih tinggi lagi.

  1. Mulur

Mulur saat putus serat kapas termasuk tinggi di antara serat-serat selulosa alam yang lainnya. Mulur serat kapas berkisar antara 4 – 13% tergantung dari jenis serat kapasnya dan rata-rata mulurnya adalah 7%.

  1. Moisture Regain

Serat kapas memiliki afinitas yang besar terhadap air, dan air memiliki pengaruh yang nyata pada sifat-sifat serat. Serat kapas yang sangat kering bersifat kasar, rapuh dan kekuatannya rendah. Moisture Regain (MR) serat kapas bervariasi sesuai dengan perubahan kelembaban relatif tertentu. MR kapas pada kondisi standar berkisar antara 7 – 8,5%.

  1. Berat Jenis

Berat jenis serat kapas adalah 1,50 sampai 1,56.

  • Sifat Kimia

1)   Pengaruh asam

Selulosa tahan terhadap asam lemah, sedangkan terhadap asam kuat akan menyebabkan kerusakan. Asam kuat akan menghidrolisa selulosa yang mengambil tempat pada jembatan oksigen penghubung sehingga terjadi pemutusan rantai molekul selulosa (hidroselulosa). Rantai molekul menjadi lebih pendek dan menyebabkan penurunan kekuatan tarik selulosa. Reaksi hidroselulosa dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini :

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber :   Arifin Lubis, dkk, Teknologi Persiapan Penyempurnaan, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung, 1994, halaman 85.

Gambar 2.5 Reaksi Hidroselulosa

2)   Pengaruh alkali

Alkali mempunyai pengaruh pada kapas. Alkali kuat pada suhu rendah akan menggelembungkan serat kapas seperti yang terjadi pada proses merserisasi, sedangkan pada suhu didih air dan dengan adanya oksigen dalam udara akan menyebabkan terjadinya oksiselulosa.

3)   Pengaruh panas

Serat kapas tidak memperlihatkan perubahan kekuatan bila dipanaskan pada suhu 120OC selama 5 jam, tapi pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan kekuatan. Serat kapas kekuatannya hampir hilang jika dipanaskan pada suhu 240OC.

3)   Pengaruh oksidator

Oksidator dapat mengoksidasi selulosa sehingga terjadi oksiselulosa, rantai molekul selulosa terputus dan selanjutnya mengakibatkan terjadinya oksiselulosa lanjutan yang mengubah gugus aldehid menjadi gugus karboksilat. Pada oksidasi sederhana dalam suasana asam tidak terjadi pemutusan rantai, hanya terjadi pembukaan cincin glukosa. Pengerjaan lebih lanjut dengan alkali akan mengakibatkan pemutusan rantai molekul sehingga kekuatan tarik akan turun. Oksiselulosa terjadi pada proses pengelantangan yang berlebihan, penyinaran dalam keadaan lembab atau pemanasan yang lama pada suhu diatas 140OC.

Sumber :   Rasyid Djufri, dkk, Teknologi Pengelantangan. Pencelupan dan Pencapan, Institut Teknologi Tekstil, Bandung, 1976, halaman 76.

Gambar 2.6 Reaksi Oksiselulosa

SILAHKAN DOWNLOAD VERSI MS.WORD DISINI : —>kapas

ZAT WARNA REAKTIF

  • Zat Warna Reaktif [5]

Zat warna reaktif dikenal sebagai zat warna yang dapat bereaksi secara kimia dengan serat selulosa dalam ikatan yang kuat (ikatan kovalen), sehingga zat warna ini merupkan bagian dari serat. Ikatan ini terbentuk dari reaksi antara gugus reaktif pada zat warna reaktif dengan gugus –OH, –SH, –NH2, dan –NH yang ada dalam serat. Oleh karena itu, hasil pencelupan zat warna reaktif mempunyai ketahanan cuci yang sangat baik.

2.2.1 Struktur Molekul Zat Warna Reaktif

Pada umumnya zat warna reaktif mempunyai struktur kimia yang terdiri atas gugus-gugus fungsional dengan fungsi tertentu, yaitu :

  • Gugus pelarut

Gugus pelarut menyebabkan zat warna reaktif dapat larut dalam air. Gugus pelarut ini umumnya ada pada bagian kromofor, yang berupa : Gugus sulfonat (–SO3H atau –SO3Na) atau gugus karboksilat (–COONa atau –COOH)

Adanya gugus pelarut yang terdapat pada zat warna reaktif tidak hanya berpengaruh pada kelarutan zat warna reaktif saja, tapi juga berpengaruh terhadap sifat-sifat yang lain, seperti substantifitas, kereaktifan dan kestabilan ikatan serat dan zat warna.

Gugus pelarut dapat berpengaruh terhadap substantifitas zat warna. Kesamaan sifat ion antara gugus hidroksil selulosa dengan gugus pelarut zat warna menyebabkan terjadinya reaksi tolak menolak, yang berakibat adsorbsi zat warna terhambat, sehingga substantifitas zat warna menurun.

Kereaktifan zat warna akan meningkat dengan semakin banyaknya gugus pelarut. Hal ini disebabkan karena gugus tersebut bersifat sebagai penarik elektron, sehingga berpengaruh terhadap kekuatan ikatan zat warna. Pengaruh gugus pelarut karboksilat terhadap kereaktifan relatif lebih kecil dibanding gugus pelarut sulfonat. Oleh karena itu, zat warna reaktif dengan gugus pelarut karboksilat pada umumnya mempunyai kestabilan terhadap hidrolisa yang lebih tinggi.

  • Kromofor

Kromofor merupakan gugus pembawa warna yang menentukan corak dan kecerahan warna. Kromofor juga berpengaruh terhadap substantifitas dan kooefisien difusi, kereaktifan, serta kelarutan zat warna. Jenis struktur komofor zat warna reaktif pada umumnya adalah jenis azo, antrakuinon, dan ftalosianin.

Peningkatan suhu celup dapat menurunkan substantifitas dan menaikkan kereaktifan zat warna reaktif. Oleh karena itu zat warna reaktif yang kereaktifannya tinggi pada umumnya mempunyai kromofor yang kecil (substantifitasnya kecil), sebaliknya zat warna yang kereaktifannya rendah umumnya mempunyai kromofor yang agak besar (substantifitasnya lebih besar).

  • Gugus penghubung

Gugus penghubung adalah gugus yang menghubungkan kromofor dengan gugus reaktif, misalnya gugus amina (–NH–), sulfoamina (–SO2NH), dan amida (–CONH–). Gugus penghubung ini berpengaruh juga terhadap kereaktifan zat warna reaktif karena bersifat sebagai penarik elektron (elektrofilik). Selain itu berpengaruh juga terhadap kestabilan hasil celup karena ikatan antara serat dengan zat warna dapat diputus pada bagian ini.

  • Gugus reaktilf

Gugus reaktif adalah gugus yang dapat bereaksi dengan serat. Gugus ini sangat besar pengaruhnya terjadap kereaktifan zat warna, karena mempunyai atom karbon bermuatan positif yang mencari tempat negatif (elektrofilik), yang akan bereaksi dengan gugus fungsi serat yang mempunyai sepasang elektron bebas (nukleofilik).

Gugus reaktif dapat berupa triazin, pirimidin, kinoaksalin, vinilsulfon, sulfoetilamida atau akrilamida. Pada gugus reaktif terdapat gugus yang mudah terlepas (gugus lepas). Pada zat warna reaktif, setelah melepaskan gugus lepasnya akan memiliki ion positif. Ion ini dapat bereaksi secara adisi atau substitusi dengan gugus negatif yang memiliki elektron bebas. Gugus lepas ini dapat berupa gugus flour, klor, brom, atau sulfat.

2.2.2 Penggolongan Zat Warna Reaktif [8]

Zat warna reaktif dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu :

  • Berdasarkan reaksi

Berdasarkan reaksi yang terjadi, zat warna reaktif dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

  • Golongan I (satu)

Yaitu zat warna reaktif yang dapat mengadakan reaksi adisi nukleofilik dengan serat selulosa dan membentuk ikatan eter dengan gugus vinil sulfon. Ikatan ini biasanya tahan terhadap kondisi asam, tetapi kurang tahan terhadap kondisi alkali. Salah satu zat warna reaktif yang mengadakan reaksi ini yaitu dari golongan vinil sulfon. Reaksi fiksasi yang terjadi antara zat warna dengan serat adalah sebagai berikut :

D-SO2-CH2-CH2-O-SO3Na + NaOH → D-SO2-CH=CH2 + Na2SO4 + H2O

D-SO2-CH=CH2 + Sel-OH → D-SO2-CH2-CH2-O-Sel

  • Golongan II (dua)

Yaitu zat warna reaktif yang dapat mengadakan reaksi substitusi nukleofilik dengan selulosa membentuk ikatan pseudo-ester. Ikatan ini biasanya tahan terhadap kondisi alkali, tetapi kurang tahan terhadap kondisi asam. Contoh zat warna reaktif yang mengadakan reaksi ini yaitu zat warna reaktif dengan gugus triazin.

  • Berdasarkan cara pemakaian

Berdasarkan cara pemakaiannya, zat warna reaktif digolongkan menjadi dua macam, yaitu :

  • Pemakaian cara dingin

Yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan tinggi, misalnya zat warna reaktif dengan sistem diklorotriazin. Suhu pencelupannya tidak lebih dari 40OC karena pada suhu yang lebih tinggi zat warna tersebut akan mudah terhidrolisa.

  • Pemakaian cara panas

Yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan rendah, sehingga perlu menggunakan suhu yang tinggi pada proses pencelupannya. Contoh zat warna ini yaitu zat warna dengan gugus reaktif monoklorotriazin. Suhu pencelupannya antara 60 – 80OC.

SILAHKAN DOWNLOAD BERUPA MS.WORD AGAR LEBIH JELAS DISINI : —> zat warna reaktif